Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam
Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tetap,
yang orang islam tidak mungkin memahami syariat islam secara mendalam dan
lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut.
Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa
hadis itu merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib diikuti,
baik dalam perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan paparan
tantang kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan melihat beberapa
dalil, baik naqli maupun aqli.
1.
Dalil Al-Qur’an
Artinya:
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
Keadaan kamu sekarang ini[254], sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik)
dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada
kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya
di antara rasul-rasul-Nya[255]. karena itu berimanlah kepada Allah dan
rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang
besar. (Qs. Ali Imran:179)
Dalam ayat lain Allah SWT, juga berfirman:
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian,
Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (Qs. AnNisa’:136)
Dalam Qs. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin
dengan orang-orang yang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang
mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut
agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang pada Qs. An-Nisa’, Allah
menyeru kaum muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya,
Al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat,
Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.
2.
Dalil Al-Hadis
Dalam salah satu pesan Rasulullah saw, berkenaan dengan keharusan
menjadikan hadis sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه (رواه مالك)
Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak
akan akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yang berupa kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik)
Dalam hadis lain Rasul bersabda:
...فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء
الرراشدين المهديين تمسكوا بها وعضوا عليها...(رواه ابو داود و ابن ماجه)
Artinya: Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
Khulafa ar-Rasyidin(khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu
sekalian dengannya.
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis
atau menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib,
sebagaimana berpegang teguh pada Al-Qur’an.
3.
Kesepakatan Ulama
(Ijma’)
Umat islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum
beramal; karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Kesepakatan umat muslimin
dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di
dalam hadis ternyata sejak Rasulullah masih hidup. Banyak peristiwa menunjukkan
adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum islam, sebagai
berikut:
·
Ketika Abu Bakar di
baiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak meninggalkan sedikitpun
sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut
tersesat bila meninggalkan perintahnya.”
·
Saat Umar berada di
depan Hajar Aswad ia berkata, “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya
saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan,
dilakukan, dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang
selalu ditinggalkan oleh mereka.[5]
4.
Sesuai Dengan Petunjuk
Akal
Kerasulan Nabi Muhammad saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam.
Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan
apa yang diterima dari Allah swt., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala
atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun juga tidak
jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang
tidak dibimbing oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Sudah
selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik
yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata,
ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup.
Siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi)
praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal
itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam Sunnah Nabawiyah,
yakni ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.
1.
Manhaj Komprehensif
Manhaj Islam tersebut mencangkup seluruh aspek kehidupan manusia, dalam
dimensi “panjang”, “lebar”, dan “dalam”-nya.
Yang dimaksud dengan
“panjang” di sini adalah rentang waktu secara vertical, yang meliputi kehidupan
manusia, sejak saat kelahiran sampai kematiannya, bahwa sejak masa kehidupannya
sebagai janin sampai setelah kematiannya.
Adapun yang dimaksud
dengan “lebar” di sini adalah rentangan horizontal yang meliputi seluruh aspek
kehidupan, sedemikian sehingga Petunjuk Nabi (hidayah nabawiyyah)
senantiasa bersamanya; di rumah, di pasar, di masjid, di jalanan, dalam
pekerjaannya, dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan
keluarga, dan segenap manusia sekitarnya, yang Muslim maupun yang non-Muslim,
bahkan dengan semua manusia, hewan dan benda mati.
Sedangkan yang
dimaksud dengan “dalam” disini adalah dimensi yang berkaitan dengan “kedalaman”
kehidupan manusia, yaitu yang mencangkup tubuh, akal dan ruh, meliputi lahir
dan batin, serta ucapan perbuatan dan naitnya.
2.
Manhaj yang Seimbang
Ciri lain dari manhaj ini
adalah “keseimbangan”. Yakni keseimbangan antara ruh dan jasad, antara akal dan
kalbu, antara dunia dan akhirat, antara perumpamaan dan kenyataan, antara teori
dan praktik, antara alam yang gaib dan yang kasatmata, anatara kebebasan dan
tanggung jawab, antara perorangan dan kelompok, antara ittiba (mengikuti
apa yang dicontohkan oleh Nabi saw.) dan ibtida’ (menciptakan
sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya dalam sunnah beliau), dan
seterusnya.
Dengan kata lain, ia
merupakan manhaj yang bersifat “tengah-tengah” bagi umat yang
berada di “tengah-tengah” (yakni umat Islam sebagaimana dinyatakan dalam Al
Qur’an, Surah Al Baqarah, ayat 143).
Karena itu, setiap
kali Nabi saw. melihat para sahabatnya condong kea rah “berlebihan” atau
“berkurang” (dalam berbagai aspek kehidupan mereka), maka beliau segera
mengembalikan mereka dengan kuat kea rah tengah (moderasi), sambil
memperingatkan mereka akan akibat buruk dari setiap ekstremitas (dalam
melaksanakan sesuatu atau dalam mengembalikannya).
Itulah sebabnya beliau
menyatakan ketidaksenangnya kepada ketiga orang yang menanyakan tentang ibadah
beliau, lalu rupa-rupanya mereka menganggapnya terlalu sedikit dan tidak sesuai
dengan keinginan keras mereka untuk memperbanyak ibadah. Seorang dari mereka
hendak berpuasa terus-menerus setiap hari (shiyam ad dahr). Seorang lagi
hendak qiyam al lailatau begadang sepanjang malam untuk
shalat. Dan yang ketiga hendak menjauhi perempuan dan tidak akan menikah. Maka
ketika mendengar ucapan mereka itu, Nabi saw. bersabda yang artinya:
“Sungguh aku ini
adalah yang paling takut, di antara kamu, kepada Allah, dan paling bertakwa
kepada-Nya. Tetapi aku adakalanya berpuasa dan tidak berpuasa, bershalat di
malam hari dan tidur, dan mengawini perempuan. Maka barang siapa menjauh dari sunnah-ku,
ia tidak termasuk golonganku.”
Dan tatkala melihat
Abdullah bin ‘Amr berlebih-lebihan dalam berpuasa, ber-qiyamullail dan
ber-tilawat Al Qur’an, Nabi saw. memerintahkannya agar melakukan
semua itu dengan sedang-sedang saja, tidak berlebih-lebihan. Sabda beliau yang
artinya:
“Sungguh badanmu
mempunyai ha katas kamu (yakni untuk beristirahat), matamu mempunyai ha katas
kamu (yakni untuk tidur), istrimu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk
disenangkan hatinya dan dipergauli dengan baik), dan para tamumu mempunyai ha
katas kamu (yakni untuk dihormati dan diajak berbincang), maka berikan hak-hak
itu kepada masing-masing.”
3.
Manhaj Memudahkan
Di antara ciri-ciri
lainnya dari manhaj ini adalah keringanan, kemudahan, dan
kelapangan. Seperti juga di antara sifat-sifat Rasul ini yang tercantum dalam
kitab-kitab suci terdahulu – Taurat dan Injil –
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. ”(QS
: Al A’raf : 157).
Sifat seperti itulah
yang menyebabkan tidak adanya sesuatu dalamsunnah Nabi ini yang
menyulitkan manusia dalam agama mereka, atau memberati mereka dalam dunia
mereka. Bahkan beliau pernah bersabda tentang dirinya sendiri, yang artinya :
“Sesungguhnya aku ini
adalah rahmat yang dihadiahkan (untuk seluruh manusia).”
Ucapan ini merupakan
penafsiran bagi firman Allah SWT:
“… Tiadalah Kami
(Allah) mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam”
(Al Anbiya: 107).
Dan beliau telah
bersabda pula, yang artinya:
“sesungguhnya Allah tidak mengutusmu sebagai
seorang yang mempersulit atau mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi
akudiutus oleh-Nya sebagai pengajar dan pembawa kemudahan.”
Dan ketika mengutuh
Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepada mareka berdua dengan
sebuah pesan yang ringkas namun padat, yang artinya:
“permudahlah dan jangan mempersulit,
gembirakanlah mereka dan jangan menyebabkan mereka menjauh, dan berusahalah
kalian berdua untuk senantiasa bersepakat dan jangan bertengkar.”
Pernah pula beliau
menujukan sabdanya kepada umatnya, yang artinya:
“permudahlah oleh kalian dan jangan
mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang pergi menjauh!”
Dan tentang misi yang
dibawanya, beliau berkata, yang artinya:
“sesungguhnya aku ini diutus dengan al
hanifiyyah as samhah (yakni jalan hidup yang lurus dan lapang).”
C. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
1.
Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat.
Yang artinya ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di
dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan
al-Qur’an. Suat contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang
berbunyi sebagai berikut:
رأئتم الهللال فصوموا وإذا رأىتموه
فأفطروا (رواه مسلم)
Artinya: Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga
apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.
Hadis di atas datang men-taqrir ayat al-qur’an di bawah ini:
Artinya: ...Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan,
hendaklah ia berpuasa...(Qs. Al-Baqarah:185)
2.
Bayan al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis berfungsi
untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal), memberikan
persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang contoh ayat-ayat yang masih mujmal adalah perintah
mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qhisas,
hudud, dsb. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik
mengenai cara mengerjakan, sebab-sebanya, syarat-syaratnya, atau
halangan-halangannya. Oleh karena itulah Rasulullah saw, melalui hadisnya
menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Contoh fungsi hadis
sebagai bayan al-tafsir yaitu:
صلوا كما رأىتمونى أصلى (رواه البخارى)
Artinya: Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR. Bukhori)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an
tidak dijelaskan secara rinci, salah satu ayat yang memerintahkan shalat
adalah:
Artinya: dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang
Sedangkan contoh hadis yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang
bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Rasulullah saw:
أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم بسارق
فقطع يده من مفصل الكف
Artinya: Rasulullah saw, didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka
beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Hadis ini men-taqyid Qs. Al-Maidah:38 yang berbunyi
Artinya: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Qs.
Al-Maidah:38)
3.
Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau
ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya
terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Hadis Rasul saw, dalam segala
bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan
suat kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an. Hadis-hadis Rasul saw, yang termasuk ke dalam
kelompok ini diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua
wanita (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina
wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu
contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
أن رسول الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أولا
صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر او أنثى من المسمين (رواه مسلم)
Artinya: Bahwasannya Rasul saw, telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat
islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap
orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim. (HR. Muslim)
Hadis Rasul saw, yang termasuk bayan at-Tasyri’ ini wajib diamalkan,
sebagaimana mengamalkan hadis-hadis lain.
4.
Bayan al-Nasakh
Kata nasikh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah
(menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama’
mengartikan bayan al-Nasikh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga
diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Jadi intinya
ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang
terdahulu, karena yang akhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan
nuansanya. Ketidakberlakuan suatu hukum harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan, terutama syarat ketentuan adanya nasikh dan mansukh.
Pada akhirnya, hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada Al-Qur’an
dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan Al-Qur’an. Salah satu contoh yang
biasa diajukan oleh para ulama’ ialah:
لا وصية لوارث
Artinya: tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Hadis ini menurut mereka menasikhk isi firman Allah swt;
Artinya: diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1. Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan,
perbuatan, ketetapan, atau dengan sifat.
2. Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas
perundang-undangan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf
Al-Qardhawi bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah
Al-Qur’an”. Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan
rujukan umat Islam dalam memahami syariat.
3. Fungsi Hadits terhadap Al Qur’an adalah berfungsi untuk memperkokoh
isi kandungan al-Qur’an, untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal),
memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat
mutlak, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih
bersifat umum.
4. Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam sesudah Al-Qur’an adalah sebab
kedudukannya sebagai penguat dan penjelas, namun Hadits juga dalam menetapkan
hukum berdiri sendiri, sebab kadang-kadang membawa hukum yang tidak disebutkan
Al
5.
Qur’an, seperti
memberikan warisan kepada nenek perempuan (jaddah), dimana Nabi SAW, memberikan
seperenam dari harta tinggalan orang yang meninggal (cucunya)
Saran
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena
berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah pengertian tentang Ilmu
hadist. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata Kuliah Ulumul Hadits.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Kami pun dari Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu mohon maaf,
sekaligus kami berharap saran dan kritik yang membangu dari para pembaca semua.
Semoga makalah ini nantinya bermanfaat untuk kita semua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar